Awards
BEST INNOVATIVE DIGITAL PRODUCT
WAN-IFRA DIGITAL MEDIA AWARDS ASIA 2024
Podcast Image
Podcast Image
News
404: Page Not Found
Podcast tentang isu sosial, politik, ekonomi di era transformasi digital. Membongkar relasi kuasa
advertisement
Di era digital yang penuh dengan informasi dan berita yang berlimpah, disinformasi menjadi ancaman nyata bagi masyarakat. Cek fakta muncul sebagai salah satu solusi untuk memerangi disinformasi dan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang akurat. Namun, seiring berkembangnya pengetahuan publik tentang sumber informasi, muncul pertanyaan tentang praktik cek fakta. Apakah cek fakta benar-benar senjata ampuh untuk melawan disinformasi? Atau sebenarnya program cek fakta lebih bermanfaat untuk membantu merespons problem yang dihadapi industri media dan organisasi cek fakta? Bagaimana memastikan organisasi cek fakta bekerja secara transparan dan akuntabel?Lebih jauh ini kita akan berbincang dengan kedua narasumber kita: - Koordinator Program Hak Digital dan Riset Engagemedia, Pradipa P. Rasidi - Direktur Program Remotivi, Muhammad Heychael *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Pengecekan fakta adalah proses sistematis untuk memverifikasi kebenaran dan keakuratan klaim, pernyataan, atau informasi. Proses ini digunakan dalam berbagai konteks, termasuk jurnalisme, politik, dan media sosial, untuk mengidentifikasi klaim yang diduga salah, menyesatkan, atau tidak terbukti. Proses pengecekan fakta, tak semudah yang kita bayangkan. Ada berbagai hal yang melatarbelakangi organisasi media maupun LSM dalam menyusun dan menyajikan hasil dari pengecekan fakta, contohnya saat debat pilpres yang lalu. Pertanyaannya, apakah fact checking bisa objektif dan se-straightforward memenuhi kepentingan publik? Sebuah penelitian berjudul “Epistemological problem of fact-checking” yang dilakukan oleh Mas Justito dan tim menemukan bahwa proses pengecekan fakta dipengaruhi oleh beragam kebutuhan dan dinamika organisasi dipengaruhi oleh beragam kebutuhan dan dinamika organisasi. Lebih jauh ini kita akan berbincang dengan kedua narasumber kita: - Mas Justito Adiprasetio (Mas Tito)- Bung Zek Septiaji dari Mafindo *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Sejak pandemi Covid-19, terjadi peningkatan penggunaan internet di masyarakat. Berdasarkan data Profil Internet Indonesia 2022 yang diterbitkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77,02 persen pada tahun 2022. Angka ini meningkat hampir 13 persen dibandingkan tahun 2018. Peningkatan penggunaan internet ini juga membawa dampak pada kampanye politik yang bergeser ke dunia digital. Sebelum Pemilu 2024 belangsung, kita menyaksikan kubu-kubu pendukung masing-masing pasangan capres dan cawapres saling serang di media sosial sehingga terjadi polarisasi di masyarakat. Maraknya berita palsu atau hoaks bukan hanya terjadi saat ini, tapi sudah berlangsung sejak tahun 2012 lalu pada saat kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jika mau ditarik lebih jauh lagi, distorsi informasi sudah terjadi sejak zaman Orde Baru. Laporan resmi tentang Gerakan 30 September 1965, misalnya, disebut profesor sosiologi Ariel Heryanto sebagai hoaks terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebenernya, apa sih yang memotivasi seseorang sehingga melakukan penyebaran disinformasi? Selain faktor individual, apa faktor-faktor struktural yang memungkinkan hoaks menyebar? Kita ngobrol yuk bersama narasumber: Alfredo Putro Wijoyo - Mahasiswa Pascasarjana The University of QueenslandRieswin (Pegiat Anti Korupsi) *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Seiring dengan berbagai amandemen dan perubahan dalam hukum pidana Indonesia, KUHP 2023 menimbulkan kekhawatiran terkait potensi dampaknya terhadap hak mendasar kebebasan berpendapat, terutama dalam konteks era digital dan perkembangan teknologi informasi. Contoh kasus sudah banyak, mulai dari pembahasan keterlibatan kekuatan militer pada bisnis eksploitasi tambang emas di Papua dalam siniar Bang Haris dan Fatia yang lalu, Rocky Gerung yang dilaporkan karena melontarkan kata "bajingan tolol" atas kebijakan IKN. Alih-alih berusaha untuk mencerahkan warga terhadap situasi genting yang ada di Papua atau mengkritisi produk hukum pemerintah, kita dibungkan dan besar kemungkinan berujung pemeriksaan di kantor polisi karena pemikiran kita. Peran mahasiswa melalui litigasi maupun non-litigasi. Model advokasi melalui litigasi melibatkan proses hukum formal, di mana mahasiswa dapat terlibat dalam proses pengadilan untuk menantang atau mendukung isu-isu hukum tertentu. Di sisi lain, advokasi non-litigasi lebih berfokus pada kegiatan yang tidak melibatkan proses pengadilan, seperti kampanye kesadaran, pendidikan publik, dan lobi. Bagaimana pandangan dan langkah apasih yang teman-teman mahasiswa bisa lakukan terhadap KUHP 2023 ini? Kita ngobrol yuk bersama narasumber: Afifah Fitriyani - Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Jurusan Hukum)Salsabila Syifa - Universitas Lambung Mangkurat (Jurusan Teknologi Informasi)Kemi - Universitas Sumatera Utara (Jurusan Ilmu Hukum)Fitra Agusetiawan - Universitas Tadulako (Jurusan Sosiologi) *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Di episode sebelumnya kita sudah membahas mengenai pasal-pasal problematik dalam UU KUHP. Pasal-pasal "karet" dalam RKUHP yang bisa berdampak pada kebebasan masyarakat untuk berekspresi termasuk pekerja seni di Indonesia. Sebagai contoh pasal Pasal 218 Ayat (1) tentang penyerangan kehormatan Presiden di muka umum atau pasal 240 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara yang bisa dipidana penjara hingga satu tahun enam bulan atau pidana denda. Ditambah lagi pengertian “di muka umum” dalam Pasal 158 bisa diperluas maknanya hingga ranah informasi elektronik alias ruang digital. Lalu, seperti apa pandangan pekerja seni terkait pasal-pasal problematik yang masih ada di KUHP baru? Dan bagaimana strategi agar tetap bisa menyampaikan kritik dan saran untuk pemerintah melalui seni dan tetap terlindungi? Kita ngobrol yuk bersama narasumber: Sakdiyah Ma'ruf - Komedian Indonesia *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
advertisement
Podcast Lainnya