Seiring dengan berbagai amandemen dan perubahan dalam hukum pidana Indonesia, KUHP 2023 menimbulkan kekhawatiran terkait potensi dampaknya terhadap hak mendasar kebebasan berpendapat, terutama dalam konteks era digital dan perkembangan teknologi informasi. Contoh kasus sudah banyak, mulai dari pembahasan keterlibatan kekuatan militer pada bisnis eksploitasi tambang emas di Papua dalam siniar Bang Haris dan Fatia yang lalu, Rocky Gerung yang dilaporkan karena melontarkan kata "bajingan tolol" atas kebijakan IKN.
Alih-alih berusaha untuk mencerahkan warga terhadap situasi genting yang ada di Papua atau mengkritisi produk hukum pemerintah, kita dibungkan dan besar kemungkinan berujung pemeriksaan di kantor polisi karena pemikiran kita.
Peran mahasiswa melalui litigasi maupun non-litigasi. Model advokasi melalui litigasi melibatkan proses hukum formal, di mana mahasiswa dapat terlibat dalam proses pengadilan untuk menantang atau mendukung isu-isu hukum tertentu. Di sisi lain, advokasi non-litigasi lebih berfokus pada kegiatan yang tidak melibatkan proses pengadilan, seperti kampanye kesadaran, pendidikan publik, dan lobi.
Bagaimana pandangan dan langkah apasih yang teman-teman mahasiswa bisa lakukan terhadap KUHP 2023 ini?
Kita ngobrol yuk bersama narasumber:
- Afifah Fitriyani - Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (Jurusan Hukum)
- Salsabila Syifa - Universitas Lambung Mangkurat (Jurusan Teknologi Informasi)
- Kemi - Universitas Sumatera Utara (Jurusan Ilmu Hukum)
- Fitra Agusetiawan - Universitas Tadulako (Jurusan Sosiologi)
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Komentar
Loading...