Awards
BEST INNOVATIVE DIGITAL PRODUCT
WAN-IFRA DIGITAL MEDIA AWARDS ASIA 2024
Podcast Image
Podcast Image
News
Ruang Publik
Perbincangan khas KBR. Mengangkat hal-hal yang penting diketahui demi kemaslahatan masyarakat. Ha
advertisement
Masyarakat Indonesia, tak hanya umat Katolik, menyambut kedatangan Paus Fransiskus dengan penuh antusias dan harapan. Para pegiat kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) mendorong semua pihak memanfaatkan momentum kunjungan Paus untuk memperkuat komitmen terhadap perlindungan KBB di Indonesia. Persoalan KBB masih menjadi pe-er pemerintah. Ini terlihat dari catatan akhir tahun Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) soal situasi KBB di Indonesia pada 2023. Koalisi mencatat masih ada beberapa tantangan pelaksanaan KBB antara lain terkait pendirian rumah ibadah, soal tuduhan ‘penistaan agama’ serta masalah yang dihadapi penganut kepercayaan. Meski demikian Koalisi juga melihat ada beberapa kemajuan yang bisa memberikan harapan pada penegakan KBB. Apa saja siginifikansi kunjungan Paus Fransiskus bagi moderasi beragama di Indonesia? Keteladanan apa yang bisa dipetik untuk mendorong pemajuan KBB di Tanah Air? Kita bincangkan Bersama Aktivis Kebinekaan & Perdamaian, Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, Ahmad Nurcholish dan Koordinator Nasional Sobat KBB (Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Bekepercayaan) Angelique Cuaca. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Dunia media di Indonesia kembali dihentak dengan dugaan pemberangusan serikat pekerja atau union busting. Sejumlah karyawan CNN Indonesia yang baru saja membentuk serikat pekerja, yang dinamai Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI), mendapat pemberitahuan PHK. Kasus dugaan union busting di perusahaan media bukan kali ini terjadi. Sungguh ironis, karena pers adalah pilar demokrasi, yang lantang bersuara tentang kebebasan berpendapat dan berserikat. Namun, di internal perusahaan, hak itu justru diberangus. Kebebasan berserikat dijamin konstitusi, Undang-Undang tentang HAM, dan UU tentang Serikat Pekerja. Mengapa praktik union busting di perusahaan media terus berulang? Apa dampaknya pada ekosistem media di Indonesia? Apa langkah yang harus diambil pemerintah untuk menjamin hak berserikat pekerja media? Kita bincangkan bersama para narasumber. Ada Peneliti dan Ketua PR2Media Yogyakarta, Masduki, Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin dan Joni Aswira Putra, Bendahara Umum Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI). *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Aparat kepolisian masih identik dengan penggunaan kekerasan berlebihan saat menangani aksi demonstrasi. Bukti terbaru kala unjuk rasa Peringatan Darurat di berbagai daerah, menolak pengesahan RUU Pilkada. Aksi yang berlangsung pada Kamis 22 Agustus lalu dan beberapa hari setelahnya, banyak yang direspons aparat dengan tindakan kekerasan. Akibatnya puluhan orang terluka dan ratusan orang ditangkap, termasuk anak-anak. Penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat ini bukanlah kejadian pertama. Hal serupa juga terjadi saat unjuk rasa menolak pengesahan RUU bermasalah seperti RKUHP, Omnibus Law Cipta Kerja, dan tak lupa tentunya Tragedi Kanjuruhan. Sebenarnya sudah ada aturan bagaimana polisi semestinya menangani unjuk rasa, yang tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009. Perkap tersebut mewajibkan aparat memperhatikan asas legalitas (sesuai hukum), asas proporsionalitas (tidak menimbulkan korban secara berlebihan), dan asas nesesitas (sesuai kebutuhan). Tapi mengapa brutalitas aparat tetap berulang? Bagaimana memastikan perlindungan terhadap hak publik dalam menyampaikan pendapat? Kita bincangkan bersama Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto dan Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Perlindungan terhadap pengemudi ojek online dan pekerja platform digital masih minim. Kedudukan hukum mereka sangat lemah karena relasi dengan aplikator berbasis kemitraan. Situasi ini memunculkan berbagai kerentanan bagi para pekerja platform digital, di antaranya, upah yang tidak layak, ketiadaan jaminan sosial, jam kerja yang panjang, dan tidak terpenuhinya hak reproduksi pengemudi ojol perempuan. Kondisi kerja tak layak tersebut mereka suarakan saat aksi unjuk rasa yang diikuti ribuan pengemudi ojol dan kurir di berbagai berbagai daerah seperti Jakarta, Banten, Lombok, Yogyakarta dan Padang, pada Kamis, pekan lalu. Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengeklaim tengah menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan mengenai pekerja platform digital, termasuk pengemudi ojek daring. Aturan seperti apa yang mesti disusun pemerintah untuk melindungi mereka? Kita bincangkan bersama Staf Program Nasional ILO Lusiani Julia dan Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Kristiyanto. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Gaya hidup mewah anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono terus menyita perhatian publik. Sorotan kian tajam ketika ada dugaan gratifikasi di balik fasilitas mewah yang dinikmati Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tersebut. Salah satunya, saat Kaesang-Erina menggunakan pesawat jet pribadi ke Amerika Serikat. Publik mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) proaktif dalam kasus ini. Beberapa hari lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengeklaim telah memerintahkan Direktur Pelaporan Gratifikasi dan Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk meminta klarifikasi ke Kaesang. Namun selang sehari setelahnya, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan Kaesang tak punya kewajiban melapor dugaan gratifikasi yang diterimanya. Tessa beralasan, Kaesang bukanlah penyelenggara negara. Ia memakai UU 30 Tahun 2002 tentang KPK Pasal 16, yang menyebut bahwa kewajiban melapor gratifikasi, dibebankan kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara. Apakah sikap KPK ini tepat? Apakah KPK berwenang menyelidiki perkara dugaan gratifikasi Kaesang? Kita bincangkan bersama Akademisi dan Ketua Pansel KPK 2019-2023 Yenti Garnasih dan Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali. *Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
advertisement
Podcast Lainnya