Aksi mandi susu yang dilakukan sejumlah peternak di Pasuruan dan Boyolali beberapa hari lalu menguak nasib suram peternak lokal. Mereka terpaksa membuang susu karena ditolak pabrik pengolahan dengan alasan kuota dipangkas. Sungguh ironis jika menilik komparasi data produksi susu segar lokal dengan kebutuhan nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan, produksi susu segar di Indonesia hanya 830 ribuan ton. Bandingkan dengan kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Artinya, produksi lokal hanya mampu memenuhi 20 persen-nya saja, sedangkan selebihnya, sebanyak 80 persen, diisi dengan impor.
Sejatinya angka ini relatif stagnan, tak banyak berubah, meski tiap periode kepemimpinan selalu mencanangkan swasembada susu. Tak terkecuali di era Presiden Prabowo yang berulang kali menekankan soal kemandirian pangan. Peternak susu lokal sempat berharap nasibnya bakal membaik karena produknya bisa diserap untuk program makan bergizi gratis.
Namun, kenyataannya malah pasar dalam negeri dibanjiri susu impor dari Australia dan Selandia Baru. Bahkan, produk dari dua negara itu mendapat pembebasan bea masuk.
Pemerintah kemudian bereaksi dengan meminta industri pengolahan susu menyerap 100 persen produk susu lokal. Sejumlah kementerian terkait juga menjanjikan pembenahan regulasi soal impor susu.
Apakah langkah ini solutif? Kebijakan seperti apa yang mesti diambil pemerintah agar peternak lokal lebih sejahtera? Bagaimana dengan target swasembada susu?
Bagaimana peternak merespon rencana pemerintah ini? Regulasi seperti apa yang berpihak pada peternak susu lokal? Apa dampaknya secara ekonomi bila produk susu lokal jadi prioritas untuk diserap industri? Kita bincangkan bersama Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf dan Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute.
Komentar
Loading...