Saat ini perhatian para pegiat iklim dan energi terbarukan tertuju pada Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Ibu Kota Azerbaijan, yang berlangsung hingga 22 November mendatang. KTT Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ini diikuti para pihak yang menandatangani komitmen bersama dalam mengatasi perubahan iklim termasuk Indonesia.
Pada COP29 ini, Indonesia diwakili Hashim S Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto, sebagai utusan khusus bidang energi dan lingkungan hidup. Ia didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan. Di sana, Hashim mengatakan Indonesia punya cadangan kredit karbon sebesar 577 juta ton yang akan ditawarkan kepada berbagai negara dan pihak yang berkepentingan. Ia mengklaim hasilnya bakal digunakan untuk mendukung pembiayaan pengendalian perubahan iklim di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga sedang giat-giatnya membuka lahan untuk program food estate dan ekspansi lahan perkebunan sawit baru untuk memenuhi target program bauran bahan bakar minyak dengan biodiesel sawit hingga 50% atau B50. Solusi Iklim dan rencana yang diambil pemerintah ini seakan saling bertentangan. Ujung-ujungnya tetap masyarakat yang merasakan dampaknya.
Seperti apa pegiat lingkungan melihat langkah pemerintah ini? Apa yang harus jadi prioritas pemerintah? Seperti apa keputusan yang dihasilkan di COP berdampak pada Indonesia? Kita bincangkan bersama Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul sekaligus Anggota ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim) dan Pakar Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus IPCC Working Group I Vice Chair, Edvin Aldrian
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Komentar
Loading...