
Rangkap jabatan seolah sudah menjadi tradisi di Indonesia. Pekan lalu merupakan gelombang kesekian deretan wakil menteri diangkat sebagai komisaris BUMN. Di antaranya, Wakil Menteri (Wamen) Pemuda dan Olahraga Taufik Hidayat menjabat Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia, Wamen Kebudayaan Giring Ganesha-eks vokalis Nidji- ditunjuk sebagai Komisaris GMF AeroAsia. Ada pula Wamendiktisaintek Stella Christie merangkap Komisaris Pertamina Hulu Energi.
Hingga pertengahan Juli 2025, tercatat 30 wamen aktif yang merangkap jabatan di perusahaan pelat merah. Praktik ini disokong regulasi, yakni UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Selain itu, ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80 Tahun 2019 yang menyatakan larangan rangkap jabatan hanya berlaku bagi menteri, bukan wakil menteri.
Berulang kali publik menggugat aturan rangkap jabatan ke MK. Meski selalu kandas, tetapi berbagai gugatan yang terus mengalir, memperlihatkan keresahan publik terhadap praktik ini. Rangkap jabatan justru menjauh dari amanat reformasi yang ingin melepaskan diri dari praktik culas tersebut, karena identik dengan Orde Baru. Selain cacat hukum dan niretika, rangkap jabatan rawan konflik kepentingan, sarang korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana pandangan wakil rakyat tentang praktik ini? Mengapa masih dipertahankan? Adakah jalan untuk mengurangi atau bahkan menghapus praktik rangkap jabatan?
Di Ruang Publik KBR, kita akan bahas topik ini bersama Anggota Komisi VI DPR sekaligus Sekjen Partai Demokrat Herman Khaeron dan Direktur NEXT Indonesia Center Herry Gunawan.
Komentar
Loading...



