Agenda tahunan kebakaran hutan dan lahan telah dimulai seiring peralihan ke musim kemarau. Di sejumlah daerah, titik-titik api bermunculan.
Misalnya di Provinsi Riau, berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru, ada 42 titik api yang terpantau pada akhir Juli lalu. Diperkirakan sudah 20 hektare kawasan gambut yang musnah terbakar. Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan.
Padahal gambut punya peran penting mencegah perubahan iklim, bencana alam, dan menjadi penunjang perekonomian masyarakat sekitar.
Sebenarnya ada kewajiban bagi pengusaha pemegang konsensi dan pemerintah untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak menjadi hutan. Ini mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Namun, kewajiban ini gagal dipenuhi. Hal itu tercermin dari laporan yang baru saja dirilis organisasi masyarakat sipil Pantau Gambut. Mereka menemukan sebanyak 95% dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon, telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar.
Temuan-temuan apa lagi yang diungkap Pantau Gambut? Apa saja kendala yang menghambat upaya restorasi gambut? Strategi seperti apa yang mestinya diterapkan agar restorasi gambut bisa berkelanjutan? Kita bincangkan bersama Azwar Maas, Pakar Rawa dan Gambut dan Mantan Ketua Kelompok Ahli BRG 2016 - 2020 dan Wahyu Perdana, Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Komentar
Loading...