
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) lagi-lagi menjadi sorotan. Pasca ramainya kasus pelecehan seksual oleh dokter peserta PPDS di sejumlah kampus ternama, terkuak juga kasus bullying atau perundungan yang terjadi pada dokter peserta PPDS Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Imbasnya, tiga prodi PPDS ditangguhkan yaitu prodi anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RS Kariadi Semarang, prodi Penyakit Dalam Universitas Sam Ratulangi di RS Kandou Manado, dan prodi anestesi Universitas Padjadjaran di RS Hasan Sadikin Bandung.
Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdiktisaintek RI) sepakat mengevaluasi sistem PPDS dengan bikin Komite Bersama. Pada konferensi pers pada Senin (21/04), sejumlah upaya perbaikan bakal diterapkan mulai dari pemeriksaan psikologi rutin peserta PPDS, perombakan sistem pendidikan kedokteran, pendisiplinan jam kerja, hingga evaluasi ruangan kosong di rumah sakit.
Apakah evaluasi sistem PPDS bakal ampuh memutus mata rantai kekerasan di lingkungan kerja dan perbaikan kualitas pendidikan dokter spesialis? Apa dampak evaluasi ini pada program yang tengah berjalan?
Kita bincangkan bersama Koordinator Tim Kajian Kebijakan Pendidikan Tinggi untuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Kemdiktisaintek, Prof. Dr.dr. med. Tri Hanggono Achmad, M.Si, dan Ketua Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) drg. Arianti Anaya.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id
Komentar
Loading...



