
Generasi milenial dan Z lagi jadi incaran sebagai target pasar oleh para pelaku usaha. Jelas ga salah, karena anak-anak muda ini dominan dalam populasi dan penguasaan teknologi. Mereka menjadi pencipta tren belanja yang mengubah wajah ekonomi. Namun, memasarkan produk yang digemari anak milenial dan Gen Z bukan perkara gampang. Soalnya tiap generasi punya perilaku yang berbeda dalam berbelanja. Di Uang Bicara episode ini, kita bakal ulas psikologi konsumen generasi milenial dan Z, khususnya di Asia Tenggara, bareng Devi Attamimi dari Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN.
==
HOST: Halo semua jumpa lagi di Uang Bicara bareng gue Reski Messanto. Di podcast Uang Bicara ini kita bakal ngebahas seputar isu ekonomi dan keuangan. Dan untuk yang baru aja dengerin Uang Bicara, jangan lupa ya untuk cek episode-episode lainnya di platform mendengarkan podcast favorit lo ya. Dan gue juga gak pernah bosen untuk selalu ngingetin lo untuk terus mematuhi protokol kesehatan, satu lagi kalau ada kesempatan vaksin segeralah vaksin. Karena kalo lo divaksin, manfaatnya luar biasa. Karena ga cuma ngelindungin lo tentunya juga ngelindungin orang-orang yang ada di sekitar lo dan yang pasti lo sayang.
HOST: Ngomong-ngomong minggu ini, kental hawanya sama peringatan hari kemerdekaan. Semoga kita bisa segera merdeka dari pandemi ya. Amin. Anyway, biasanya momen spesial kayak gini, banyak betebaran promo-promo belanja, apalagi via online karena masih suasana PPKM. Kita tahu, di masa pandemi, rata-rata masyarakat ngerem pengeluarannya karena situasi ga menentu. Jadi duitnya di-saving atau buat dana darurat. Nah, pengusaha juga mesti kerja keras putar otak gimana ngejual produknya. Ngasih promo kayak gratis ongkos kirim, diskon, dll itu bagian dari insentif biar calon pembeli check out produknya dari keranjang belanja. Ga cuma pengusaha, pemerintah juga pas momen Lebaran kemarin, ngasih insentif subsidi gratis ongkir di e-commerce untuk produk-produk UMKM lokal. Tujuannya juga sama, biar masyarakat rajin belanja, jadi ekonomi muter.
HOST: Tapi, kalo bagi pengusaha, asal tebar insentif jelas ga menjamin bakal sukses nyerok konsumen. Persaingan ketat maksa pebisnis terus-terusan ngupdate pengetahuan tentang pasar dan karakteristik konsumen. Dan di era digitalisasi, bisa ditebak porsi pasar terbesar itu ada di tangan anak muda, generasi milenial dan generasi z. Mereka lah, ya kita-kita ini yang bakal men-drive tren belanja ke depan. Dan di episode kali ini mau ngajak lo ngulik soal kayak gimana sih generasi milenial dan z kalo belanja. Langsung aja kita bahas di Uang Bicara.
[MUSIK]
HOST: Oke langsung aja gue undang expert gue yang akan gue ajak ngobrol hari ini soal tren belanja generasi milenial dan generasi Z.
DEVI: Hai semuanya saya Devi Attamimi saya adalah Executive Director Strategy dari Hakuhodo Internasional Indonesia. Hakuhodo adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kreatif atau mungkin lebih tepatnya perusahaan iklan. Beruntungnya saya tidak hanya sebagai Executive Director di Indonesia, tapi juga di saat yang bersamaan saya adalah Institute Director dari Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN, panjang namanya akan saya singkat menjadi HILL saja.
Host: Menarik ya Devi Attamimi ini kerja di perusahaan iklan sekaligus mimpin anak usahanya yang ngerjain studi soal perilaku society. Sebenarnya make sense sih dan mungkin malah necessary, karena perusahaan iklan kan butuh data, informasi soal target pasar, produk yang bakal dipasarkan. Biar iklannya itu mengena gitu, tepat sasaran dan bisa ngerebut hati calon pembeli. Jadi pengusaha itu perlu paham soal psikologi konsumennya.
DEVI: Kenapa penting banget? Menurut kami, kalau bikin iklan tentunya semua orang mikirnya yang penting adalah kreativitas. Itu betul, tetapi tidak satu-satunya. Karena selain kreativitas yang harus dimiliki oleh orang-orang yang bikin iklan itu ialah insight. Insight masyarakatnya, audiens yang akan diajak berbicara atau berinteraksi itu seperti apa. Kalau kita memiliki pemahaman yang cuma sedikit aja mengenai audiens kita, tentunya iklan yang kita bikin mungkin tidak akan se-impactful kalau kita memahami mereka lebih dalam lagi.
HOST: Ini tuh selaras sama jurnal yang ditulis Professor bidang marketing dari Universitas John Hopkins Amerika Serikat, Michael Solomon. Dia bilang pikiran, keyakinan, perasaan, dan persepsi kita mempengaruhi cara kita membeli suatu produk barang dan jasa. Nah, Devi di Hakuhodo nelisik aspek psikologi generasi milenial dan gen Z di Asia Tenggara dalam berbelanja.
DEVI: Belanja itu sebenarnya adalah the tip of an iceberg. Motivasi kita untuk berbelanja itu kan luar biasa. Belanjanya bisa sama, sama-sama beli handphone, tapi motivasi dia untuk memilih sebuah produk, sebuah feature itu dilandasi oleh emosional yang sangat berbeda masing-masing. Ini kenapa saya akan ceritanya mungkin sedikit lebih dalam di aspek di luar belanjanya. Belanja itu adalah ujungnya doang. Yang lebih seru adalah kita pengen tahu kenapa mereka berbelanja.
HOST: Tadi sempat gue singgung kalo anak-anak muda nih, ya generasi kita yang bakal nge-drive tren belanja ke depan. Itu artinya kita juga yang nentuin barang dan jasa yang akan diproduksi. Berasa sultan banget kita ya hehe.. Yok kita liat aja data Hakuhodo. Kata mereka, generasi Z atau generasi yang lahir tahun 1997-2012 mengisi 24% populasi Asia Tenggara atau sekitar 157 juta jiwa dari 655 juta orang di Asia Tenggara. Di Indonesia juga sama. Badan Pusat Statistik mencatat tahun 2020 Generasi Z itu jumlahnya sekitar 75 juta jiwa atau 27-an persen. Kalo millenials, ini mereka yang lahir tahun 1981 - 1996, mencapai sekitar 69 juta jiwa atau setara 25 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa. Jadi ya ga salah dong ya kalau semua mata itu tertuju ke anak milenial dan gen Z ini. Terutama sih generasi Z, yang emang benar-benar fresh, newbie sebagai pelaku ekonomi. Kalo generasi milenial, Devi sudah sempet bikin studi perilaku belanjanya beberapa tahun lalu.
DEVI: Kita menggunakan approach di Hakuhodo itu namanya seikatsha - itu Bahasa Jepang- loosely translated sebagai life and living person. Jadi studi kita tidak hanya mencoba melihat perilaku berbelanja mereka. Bahkan lebih besar lagi kita melihat justru secara psikologisnya mereka, nilai-nilai kehidupan mereka seperti apa. Tentunya karena ASEAN mencakup seluruh negara ASEAN, termasuk Indonesia dengan proporsional yang seimbang. Jadi responden kita mencakup main-nya adalah gen Z tapi juga ada gen Y dan gen X. Karena kita mencoba -tadi itu- pertanyaan yang sama kita tanya ke mereka. Kita pengen tahu seberapa apa besar perbedaan jawaban antara masing-masing generasi.
HOST: Studi HILL ASEAN soal perilaku belanja Gen Z ini dilakukan pada Juni 2020. Ada 5000-an partisipan se-Asia Tenggara. Dan meski fokusnya ke generasi Z, generasi milenial alias generasi Y dan generasi X juga diwawancara loh, supaya bisa ada perbandingan kata Devi. Ada sekitar 900-an orang partisipan dari generasi X yaitu yang lahir tahun 1965-1980. Terus, ada 1.800-an partisipan dari generasi Y atau milenial. Nah untuk generasi Z jumlah partisipannya juga sama kayak generasi milenial yaitu 1.800-an. Gendernya dibikin berimbang, juga soal status sosial ekonomi. Metode surveinya pakai kuantitatif dan kualitatif. Studi sendiri dilakukan via online kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam secara offline.
HOST: Ada tiga poin yang mau diulik Devi untuk melihat perilaku belanja generasi Z dan perbandingan dengan generasi pendahulunya, terutama milenial. Yaitu soal nilai-nilai yang dianut, kemudian relasi dengan lingkungannya dan gimana mereka mendefinisikan kebahagiaan. Nah, soal relasi lingkungannya dulu nih. Kenapa itu krusial banget untuk dicari tahu? Soalnya terkait erat dengan pilihan-pilihan mereka saat akan membeli suatu produk. Dan temuannya menarik lho, karena mematahkan anggapan-anggapan klise soal generasi Z.
DEVI: Mitos yang paling sering kita dengar adalah gen Z selalu mementingkan diri mereka sendiri. Kesannya mereka sangat egois, terus mereka apatis dan tidak peduli, ternyata mitos itu tidak benar. Karena melalui studi di HILL, kita bisa tahu bahwa generasi Z ini justru adalah generasi yang paling dekat dengan orang tuanya. Hubungan mereka sama orang tuanya itu lebih casual, lebih kayak teman.
Kata Devi, Gen Z ini care a lot soal kesehatan mental. Makanya, self-love, mindfulness menjadi hal penting buat mereka.
DEVI: Kita bisa melihat ada proporsi yang sangat besar di dalam ideal life mereka itu menyangkut mentally stable, menyangkut inner peace, menyangkut happiness family, menyangkut love, feel enough and thankful. Jadi mereka melihat ideal life mereka itu banyak juga berkaca terhadap kesehatan mental mereka. Dan bukannya malah mereka semakin ngoyo untuk berkarir. Tentu mereka generasi yang juga ambisius, ya namanya anak muda banyak maunya, ambisius tentunya. Tetapi karena mereka ingin mem-balance dan kalau misalnya ngomongin karir, mereka bilang karir yang bagus itu yang realistis dan stabil. Jadi gimana karir itu meng-ensure kenyamanan dan juga balik lagi kebahagiaan bagi keluarga mereka.
HOST: Padahal selama ini banyak yang ngeluh, generasi Z ini susah banget dipahami lah, egois lah, apa lah-apa lah. Ya yang ngomong gitu pasti anggota generasi yang lebih tua hehe… karena memang beda ternyata dengan generasi milenial soal relasi dengan keluarga dan lingkungan. Gap ini mungkin karena orang tuanya beda generasi juga. Kalau generasi Z, orang tuanya pasti generasi X kelahiran 1965 sampai 1980. Sedangkan milenial itu orang tuanya generasi baby boomers yang lahirnya di kurun 1946 sampai 1964. Jadi kebayang kan gimana mereka hidup di zaman yang completely different sama milenial apalagi gen Z.
DEVI: Dan kalau misalnya kita tanya apakah kamu dekat dengan orang tua? Itu seperti apa gen G dan milenial? Terdapat gap yang cukup besar. Bahwa gen Z itu jauh lebih dekat. Dan ini didasari karena orang tuanya gen Z ini adalah gen X. Gen X ini mereka mencoba membesarkan anak mereka tidak seperti baby boomers. Mereka mencoba membesarkan anak mereka dengan jauh lebih memberikan kebebasan dan keleluasaan. Dan juga mereka membesarkan anak mereka dengan lebih banyak mencoba membuat anak itu memiliki sebuah point of view. Jadi ga cuman dididik untuk mengikuti norma-norma yang ada. Tapi justru dididik untuk bisa berpikir kritis. Namun di saat yang bersamaan walaupun orang tuanya gen Z ini memberikan keleluasaan untuk mereka membentuk hidup mereka, tapi mereka pun sangat dituntut untuk mengikuti tradis. Apa yang ada tradisi di keluarga mungkin atau di sekitar masyarakatnya.
HOST: Nah, milenial karena dibesarkan generasi baby boomers yang lahir pascakemerdekaan dengan segala bumpy roads sejarah bangsa, alhasil punya karakter sendiri. Mereka lebih menekankan soal kebebasan, eksistensi diri, sehingga relasinya sama ortu dan lingkungan ga selekat generasi Z. Hal itu juga terlihat dalam gaya mereka berbelanja.
DEVI: Milenial itu mereka merasa bahwa mereka memiliki obligasi, tanggung jawab untuk voice out their opinion terhadap apapun yang mereka lakukan. Jadi belanja itu merupakan salah satu bagian di mana mereka bisa menjadi expert. Millenial merasa belanja itu bukan sebuah risiko. Kalau generasi sebelumnya, sebelum belanja mereka berpikir panjang lebar bahkan untuk membeli sebuah hal yang sangat murah. Mungkin mereka meluangkan waktu yang cukup lama, worth it atau ga? Sementara kalau millenial mereka lebih impulsif, mereka melihat apa bagus. Apalagi kalau influencer favoritnya, mereka bisa langsung beli aja. Mereka ga melihat itu sebagai sebuah risiko. Karena menurut mereka kalau mereka ga suka tinggal dijual lagi, dan menjual barang itu pun sekarang jadi sebuah experience.
HOST: Yup bagi milenial, experience and memories are really matters. Itu kuncinya. Nah, karena milenial juga tech savvy, ikrib sama media sosial, mereka demen bikin konten dan ngeshare pengalaman belanjanya.
DEVI: Kalau misalnya millenial, pada saat mereka melakukan pembelian keyword adalah it’s all about expereince. Jadi experience itu menjadi keyword-nya kan bagi milenial. Hidup itu harus wah semua passion dicoba. Nongkrong di cafe itu bukan hanya minum kopi, tapi juga pengalaman. Nah itu yang membedakan. Pahamnya mereka, belanja itu adalah bukan untuk memiliki barang tetapi sebuah experience yang ingin mereka bagikan ke orang lain. Agak sedikit berbeda dengan gen Z. Gen Z lebih personal, kalau millenial tujuan akhirnya adalah bagaimana pembelian produk ini bisa menjadi konten bagi mereka, untuk either mereka posting di sosial media atau at least mereka ceritakan ke teman-teman di sekitarnya. Jadi itu yang cukup menonjol perbedaannya. Sehingga kalau untuk millennials, kita ambil contoh kalau mereka belanja online, the peak of the experience itu adalah pada saat mereka unboxing dan mereka bisa bercerita, bukan cuma mengenai produk yang setelah mereka pake, tapi pengalaman mereka mulai dari belanjanya gimana, unboxing-nya gimana, terus mereka coba dan mereka tuangkan dalam sebuah review atau testimonial.
HOST: Menarik ya temuan Hakuhodo soal millenials dan gen Z, masih banyak informasi berharga lain yang bakal dishare Devi Attamimi. Nanti abis break kita lanjutin lagi.
[MUSIK]
HOST: Kita balik lagi di Uang Bicara masih bareng gue Reski Messanto, kita lagi ngebahas perilaku belanja generasi millenials dan gen Z bareng Devi Attamimi. Dia ini adalah Direktur Hakuhodo Institute ASEAN. Kita lanjut lagi bahas soal komparasi karakter generasi millenial dan generasi Z. Kalau soal konsumsi media sosial, dua generasi ini juga punya sikap berbeda. Milenial tuh tukang nge-share konten ke semua platform medsos yang dia ikuti. Kalo gen Z suka ngebagi-bagi dan ngebedain konten yang diunggah ke tiap platform.
DEVI: Era milenial itu booming sosial media di mana buat milenial situ mereka agak blurred antara online dan offline, maksudnya antara kehidupan mereka yang offline dengan kehidupan yang coba mereka portray di online. Kayak semua harus berjalan bersamaan. Beda sekali dengan gen Z. Gen Z itu mencoba meng-kompartmentalisasi hidup mereka. Jadi apps yang mereka gunakan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Misalnya Facebook itu untuk apa, Instagram itu untuk mereka sharing, TikTok itu justru untuk mereka lebih terhibur, sementara kalau misalnya Twitter itu adalah untuk mereka bisa didengar aspirasi mereka. Dan juga mereka memiliki persona yang agak sedikit berbeda di masing-masing platform tersebut. Jadi Instagram sama tiktok personanya sama, enggak. Mereka coba membedakan karena mereka tahu yang melihat pun menantikan posting yang berbeda.
HOST: Perilaku belanja juga dibentuk dari bagaimana tiap generasi mendefinisikan kebahagiaan. Apa sih yang membuat lo bahagia. Kalo generasi milenial ya tadi itu, gimana dia bisa eksis dan mengekspresikan diri. Kalau generasi Z gimana ya?
DEVI: Kalau mereka kita tanya apa sih yang definisi happiness buat gen Z ini definisinya apa. Happiness buat mereka itu definisinya adalah being accepted by many people. Lalu ada mitos yang lain lagi bilang bahwa gen Z itu sangat kompleks. Ternyata kompleksitas itu terlihat karena mereka mencoba untuk mem-balance antara diri mereka dan juga society. Jadi it's happy you, happy me. Mereka mencoba mem-balance tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri, tetapi juga tanggung jawab mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat.
HOST: So, generasi Z kelihatan cenderung lebih empati ya, karena mereka nganggep penting banget itu koneksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Jadi banyak keputusan itu diambil, termasuk belanja, dengan mempertimbangkan nilainya atau dampaknya bagi orang lain. Apakah produk itu bisa membahagiakan keluarga atau lingkungan sekitar? Jadi generasi Z ini lebih overthinking, banyak yang dipikirin sebelum mutusin beli sesuatu. Devi bilang, gen Z kalo belanja juga lebih rasional ketimbang milenial yang cenderung impulsif. Ini bisa ditracking dari cara mereka dididik oleh orang tuanya. Gen Z hidup di lingkungan yang relatif mapan, didorong untuk berpikir kritis dan membuat keputusan sendiri.
DEVI: Mereka lebih menilai produk practicality dan functional benefit dibandingkan dengan yang penting keren-kerenan. Karena mereka kritis, mreka dididik untuk kritis. Mereka dididik untuk bisa memiliki pendapat mereka sendiri. Jadi itu terbawa juga pada saat mereka melakukan decision making untuk berbelanja. Mereka lebih kritis. Orang yang lebih kritis tentunya mereka akan melakukan banyak investigasi terhadap produk, merk yang pengen mereka beli. Mereka detektif, gen Z ini adalah online detektif. Jadi jangan coba-coba untuk mencoba membohongi mereka karena mereka dengan mudahnya untuk tahu brand ini produk ini klaimnya benar atau salah.
HOST: Tuh catet. Jangan coba-coba ngibulin gen Z. Sifat autentik, jujur dan tulus itu dihargai banget sama mereka. Sekali keciduk bo’ong, produknya atau perusahaannya bisa diban selamanya ato ntar kena cancelled culture. Kayak beberapa brand yang ramai-ramai diprotes di sosial media saat pride month Juni lalu. Soalnya cuma kayak manfaatin or numpang momen itu sebagai media promosi, tapi sejatinya nggak benar-benar pedui sama nasib kelompok LGBTQ.
DEVI: Didasari karena mereka itu online detektif ya. Jadi mereka lebih memilih produk yang iklannya atau cara mereka menjual barangnya lebih direct. Kayak kalau lo seperti ini ya bilang seperti ini. Beda mungkin sama yang sebelumnya, yang lebih mudah untuk dikamuflase, lebih mudah untuk tim marketing untuk membikin sebuah cerita dibandingin gen Z. Karena itu tadi mereka kan kritis. Jadi di brand lebih susah sekarang untuk gen Z, untuk bisa mencari angle-angle. Marketer itu harus lebih straightforward, lebih honest kalau mau dipercaya sama gen Z. Jadi misalnya kalau kita balik ngomongin soal sustainability, kan semua orang ngomongin sustainability ya. Ada banyak brand yang melakukan greenwashing, mereka mencoba untuk sok-sok peduli sama sebuah social cost atau enviromental issue. Tapi sebenarnya itu hanya sebuah gimmick tidak didasari oleh- produk mereka tidak sesuai dengan gimmick tersebut. Nah gen Z tahu itu, dan gen Z justru kaya ‘waah ini gue blacklist aja nih brand-brand yang seperti ini’. Jadi lebih hati-hati sih sebenernya, lebih jujur.
HOST: Soal beli barang, mereka ga ragu bayar lebih kalo produk itu punya benefit lebih atau nilai tambah. Inget, gen Z senang bisa connect dengan banyak orang.
DEVI: Kalau misalnya ada barang yang sama tapi merknya beda, ada kualitasnya sama-sama bagus yang mungkin sedikit lebih murah 10%, yang satu lebih mahal 10%. Tapi yang lebih mahal ini memiliki implikasi social cost -let’s say- misalnya packaging-nya bisa di-recycle, mereka mau beli yang lebih mahal, karena mikirnya jauh lebih panjang, ‘oh I'm doing something good for the earth. Dan kalau kita kaitkan dengan conscious living, itu salah satu yang poin yang mereka sangat perhatikan. Yang paling gampang adalah mengenai plastic waste, mengenai sustainability. Ada banyak marketer yang merasa bahwa bahan bakunya lebih mahal, ternyata mereka menyadari hal itu. Dan mereka ga masalah untuk bayar lebih mahal. Karena mereka tahu mereka bayar lebih mahal, tapi di baliknya itu mereka menentukan suatu yang baik terhadap either lingkungan atau balik ke society.
HOST: Gen Z emang aware dengan isu-isu sosial. Sebut aja deh soal perubahan iklim, stop kekerasan seksual, sampai isu kesetaraan LGBTQ juga mereka suarakan. Tagar-tagar kampanye seperti #ClimateChangeIsReal, #MeToo, dan #LoveWins sering banget berseliweran kita lihat di medsos. Itu juga bagian dari cara mereka bersuara lewat dunia maya. Melihat karakter khas gen Z ini, maka strategi pemasaran produknya mesti dimodif. Tapi sekali lagi yang jujur, yang autentik ya, jangan cuma gimmick kalo pengin menangin hati Gen Z.
DEVI: Kalau misalnya selama ini kita membuat sebuah program marketing dan yang kita highlight adalah mengenai USP (unique selling point), mungkin saatnya sekarang kalau ke gen Z kita mencobanya unique social perspective. Sama-sama USP ya tapi nggak cuma selling point, tetapi social perspective. Karena itu akan catch their attention. Lalu juga kalau marketer tahu lah RTB (reason to believe). Nah sekarang ga cuma reason to believe, tetapi reason to bond, karena itu tadi mereka adalah generasi yang mencoba mengharmonisasi semuanya. Jadi tentunya the feeling of bonding, very very important buat mereka. Jadi kalau ada brand yang bisa menawarkan value tersebut tentunya mereka akan lebih memilih dibandingkan produk kompetitornya.
HOST: Ada lagi anggapan yang keliru bahwa Gen Z itu bakal cenderung lebih suka menyewa ketimbang memiliki suatu produk atau barang. Hasil riset Devi mengungkap sebaliknya, Gen Z senang memiliki sesuatu karena pengin bonding atau stay connected dan bikin mereka ngerasa secure.
DEVI: Jadi ternyata mereka lebih pengen punya dibanding sewa, dan ini cukup mengejutkan. Karena contohnya ya industri otomotif memprediksi di masa depan orang ga kepengen beli mobil, karena anak-anak muda ini -yang sekarang terjadi anak-anak milleniala, apalagi di negara-negara maju, mereka udah ga kepengen lagi beli mobil. Karena apa? Karena transportasi sudah lebih nyaman, mereka ke mana-mana udah ada online transportation. Dan juga mungkin di negara lain kereta segala macam udah sangat memadai. Ternyata di Indonesia dan juga di ASEAN -cukup besar angkanya di Indonesia- ternyata anak-anak gen Z ini lebih prefer punya.
HOST: Oke, kita udah banyak ulas temuan riset Hakuhodo soal Gen Z. Mereka ini generasi yang mementingkan sinergi, harmoni dengan berusaha membalance diri mereka dengan keluarga dan lingkungan. Berbeda dengan generasi milenial yang menekankan eksistensi dan kebebasan diri. Ini bukan dalam rangka melakukan judgment moral ya, siapa yang lebih baik atau buruk karakternya. Tapi pengetahuin itu bisa bermanfaat bagi pengusaha atau pemasar produk atau brand untuk meracik strategi marketing yang tepat. Ini nih beberapa rekomendasi dari Devi.
DEVI: Untuk marketer, kita tuh harus lebih berani the way we market ourselves harus lebih brave. Karena gen Z itu senang -millenilas mungkin juga ya karena dengan banyaknya penganut konsep concious living ini. Jadi ke depannya brand yang lebih bisa courageous, yang lebih bisa berani shows their difference side, akan jauh lebih menarik. Dan yang paling penting juga adalah untuk co-create. Kita tahu udah ga lagi zamannya one way communication. Jadi semuanya itu interaktif. Ini juga sama dengan mereka berbelanja, kalau misalnya mereka merasa mereka punya andil untuk sebuah brand, itu akan menjadikan mereka kayak fans. Jadi coba gimana caranya menjadi ally gen Z. Caranya bisa melalui initiate conversation, kayak diajak komunikasi gitu. Mereka diajak berinteraksi dan diajak juga untuk sama-sama mendesain produknya. Terus melakukan aktivitas bersama-sama. Jadi itu kali ya ke depannya, udah bukan lagi brand itu ditaruh di atas sana, sementara kita hanya konsumen. Tapi ke depan justru kebalikannya. Yang namanya konsumen adalah raja, itu mungkin lebih banyak lagi ke depan karena co-create dengan konsumen itu akan jauh lebih menguntungkan di masa depan. Jadi team up dengan gen Z dengan milenial.
Host: Waahhh... insightful ya obrolan kali ini. Kita jadi paham alam pikir generasi milenial dan gen Z, perbedaan karakternya, faktor penyebabnya sampai kemungkinan pengaruhnya ke keputusan check out barang di e-commerce. Okey dan sampai di sini juga episode Uang Bicara kali ini, inget kalau lo semua ada kritik dan masukan jangan pernah ragu untuk email ke podcast@kbrprime.id. Sampai ketemu minggu depan, tetap sehat, dan tetap bahagia Reski Messanto pamit, byebye.
Komentar
Loading...



